Rabu, 09 Juni 2021

TUGAS ANALISIS BERITA PAJAK TERKINI

Pengenaan Pajak Pada Transaksi Cryptocurrency

[Sumber Berita]

Dilansir dari salah satu platform media berita, bahwasannya Dirjen Pajak Kemenkeu berencana untuk mengenakan pajak pada transaksi cryptocurrency yang sedang marak dipergunakan khususnya di negara kita ini. Disamping merencanakan, DJP juga kabarnya kini tengah menyusun aturan sembari melakukan pengkajian lebih dalam mengenai hal tersebut. Dengan kata lain, aturan pemberlakuan pajak dalam transaksi cryptocurrency ini masih dalam tahap diteliti dan dikaji, hingga pada akhirnya aturannya akan tetap terwujudkan.

Sebelum berlanjut pada pembahasan, yuk kenali terlebih dahulu, apa sih cryptocurrency itu…? Nah cryptocurrency disini ialah mata uang digital yang berlaku pada komputer saja, jadi tidak dapat kita pegang secara fisiknya dalam kehidupan sehari-hari layaknya uang[1]. Jadi cryptocurrency disini itu digunakan sebagai transaksi antar pengguna tanpa merepotkan pihak ketiga. Selain itu juga dimanfaatkan sebagai instrumen untuk berinvestasi.

Terkait transaksi ini sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangannya yakni tertuang dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Pasifik Aset Kripto, yang mana peraturan tersebut sudah berlaku sejak pertengahan bulan Desember 2020. Diundangkannya peraturan ini tak lain adalah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan bagi masyarakat yang bertransaksi.

Lanjut yuk... . Beberapa jenis cryptocurrency yang boleh diperdagangkan di Indonesia diantaranya seperti Bitcoin, Ethereum, Tether, Bitcoin cash, dan lain-lain. Diketahui bahwasannya penetapan jenis cryptocurrency ini tak lain adalah dengan menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan secara yuridis dan pendekatan penilaian analisis hirearki proses. Masih berlanjut, seperti halnya bitcoin. Bitcoin merupakan pionir dalam cryptocurrency[2]. Sebagai mata uang kripto, bitcoin menggunakan sistem kriptografi dan alogaritma khusus yang kompleks di dalam sistemnya yang menyebabkan bitcoin hampir tidak mungkin untuk dipalsukan.

Nah, mengarah pada paragraf pertama. Mengenai transaksi cryptocurrency akan dikenai pajak. Apabila dilihat dari sisi hukum, berdasarkan asas legalitas, dapat dilihat bahwa cryptocurrency ini tidak memiliki status hukum yang sah sebagai alat tukar di Indonesia. Sejatinya, pengenaan pajak dalam sistem pajak di Indonesia ini dikenakan atas seluruh tambahan kemampuan ekonomis yang sumbernya darimana pun. Ini berarti bahwa ketentuan perundang-undangan pajak ini tidak membatasi diri hanya untuk penghasilan-penghasilan yang sifatnya legal dan diakui secara hukum.

Kemudian apabila dilihat dari sisi ekonomi dan sosial. Diketahui bahwa sistem pemajakan cryptocurrency ini telah diberlakukan di beberapa negara maju dan berkembang di luaran sana, yang mana penentuan tarif nya berbeda-beda. Hal ini membuktikan bahwa pengenaan pajak terhadap transaksi tersebut dapat meningkatkan pendapatan negara terlebih saat kondisi sekarang ini. Pemungutannya itu dimasukkan ke dalam Pajak Penghasilan (PPh) wajib pajak orang pribadi atau badan. Adapun besaran yang diusulkan untuk dikenakan pajak di negara kita ini adalah PPh final sebesar 0,05%.


Baca juga :

Analisa Berita "Pajak Orang Super Kaya Bakal Naik, Simak RincianTarif PPH yang Berlaku Saat Ini"

Hapusnya Sanksi Pidana Pengemplang Pajak Di RUU KUHP

Analisis Berita Terkini : Gali Potensi Pajak, Sri Mulyani: DJP Olah Ratusan Jenis Data

Penutupan kantor penerimaan pajak dilihat dari sisi social-ekonomi dan hukum



[1] Geofanni Nerissa Arviana, 2021, “Apa itu Cryptocurrency? Yuk, Kita Kenali Lebih Jauh!”, (https://glints.com/id/lowongan/cryptocurrency-adalah/#.YMFjjfkzbIU , diakses pada 8 Juni 2021 pukul 19.56)

[2] Axel Yohandi, dkk., “IMPLIKASI YURIDIS PENGGUNAAN MATA UANG VIRTUAL BITCOIN SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN DALAM TRANSAKSI KOMERSIAL (STUDI KOMPARASI ANTARA INDONESIA-SINGAPURA)”, DIPONEGORO LAW JOURNAL, 6(2), 2017, hlm. 5


Jumat, 02 April 2021

Mata Kuliah : Hukum Pajak

PRANATA PRAPERADILAN DITINJAU DARI SUDUT 

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI 

[Sumber] : Pengaturan dan Praktek Praperadilan Tindak Pidana Pajak di Indonesia

Secara umum, pranata adalah norma atau aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis. Adapun sifat daripada pranata yakni mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri tersendiri yakni aturan main, tujuan, kelengkapan, symbol, umur, dan nilai.[1] Kemudian, mengenai pengertian praperadilan. Dalam  KUHAP tidak dituliskan secara jelas mengenai definisi praperadilan ini. Praperadilan merupakan bagian dari kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU tentang: Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; Ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Adapun Pasal yang berkaitan dengan praperadilan yakni Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP.

SUDUT ONTOLOGI

Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu yang ada. Sehingga sesuatu yang ada tersebut dapat dipercaya oleh masyarakat. Menurut Soetandyo Wigonosoebroto, aspek ontologis dalam hukum dapat dibagi menjadi 5 bagian yakni:[2]

a.      Asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal

b.      Norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara

c.      Putusan hakim in concreto, yang tersistematisasi sebagai judge made law

d.      Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik.

e.     Manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi di antara mereka.

Dari hal tersebut di atas, maka apabila dihubungkan dengan pranata praperadilan yang ditinjau dari sudut ontologi. Maka, yang dibicarakan adalah mengenai ‘apa hakikat dari keberadaan pranata praperadilan?’. Pada hakikatnya, keberadaan pranata praperadilan merupakan bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia.[3] Lebih lanjut, pranata praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP haruslah dimaknai sebagai pranata untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh Penyidik atau Penuntut Umum.

SUDUT EPISTEMOLOGI

Epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang sesuatu yang ada di dalam suatu ilmu pengetahuan. Epistemologi ini pada intinya membahas tentang ‘bagaimana’ kita mengetahui apa yang kita ketahui, ‘bagaimana’ ilmu pengetahuan itu diperoleh, dan masih banyak yang lainnya. Kemudian, apabila dihubungkan dengan praperadilan ditinjau dari sudut epistemologi. Maka, yang dibicarakan dan perlu diketahui adalah mengenai ‘apa yang melatarbelakangi adanya praperadilan?’ , kemudian ‘mengapa praperadilan itu diadakan?’.

Praperadilan merupakan tiruan dari Rechter Commisaris di Negeri Belanda. Lembaga Rechter Commisaris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan), muncul sebagai wujud dari peran serta keaktifan Hakim, yang di Eropa Tengah memberikan peranan ”Rechter Commisaris”, yakni suatu posisi yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang middelen), penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, pemeriksaan surat-surat.[4]

Kemudian mengenai tujuan dari dibentuknya praperadilan adalah sebagai kontrol atas jalannya hukum acara pidana dalam rangka melidungi hak-hak tersangka (terdakwa). Adapun mengenai tugasnya yakni bersifat terbatas sebagaimana yang telah diuraikan pada permulaan di atas.

SUDUT AKSIOLOGI

Aksiologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat nilai yang ditinjau dari kefilsafatan. Inti dari aksiologi ini adalah etika dan estetika. Bilamana dihubungkan dengan praperadilan ditinjau dari sudut aksiologi. Maka, yang dibicarakan adalah mengenai ‘nilai apa saja yang dapat diperoleh atau yang terkandung dalam praperadilan tersebut?’.

Adapun nilai yang terkandung diantaranya terdapat nilai agama. Yang mana dalam praperadilan ini selain dapat melindungi hak-hak asasi tersngka, juga dapat melindungi 5 pokok perkara dalam islam (maqasid syariah) yakni menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta dimana 5 pokok perkara dalam Islam tersebut yang paling utama untuk dijaga dan dilindungi disamping hak-hak asasi tersangka yang lainnya. Kemudian terdapat pula nilai keadilan. Dimana nilai ini didapat dari pertimbangan dan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap yang tentunya mengandung keadilan bagi seluruh pihak yang bersangkutan di dalamnya.


Baca juga :

Praperadilan Pajak dalam Praktek

Sumber Hukum Praperadilan Perpajakan

Praperadilan Tindak Pidana Pajak Indonesia


[1] Maulana Adhi Nugraha, 2021, “Pranata”, (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pranata diakses pada 30 Maret 2021 pukul 13.56).

[2] DR. Anang Sophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn., 2018, PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN TERSANGKA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA, hlm. 127, (http://eprints.ulm.ac.id/6333/ diakses pada 30 Maret 2021 pukul 07.54).

[3] Mahkamah Konstitusi RI, 2021, “MK: Penetapan Tersangka Masuk Lingkup Praperadilan”, (https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10796 diakses pada 1 April 2021 pukul 16.47).

[4] Kejaksaan RI, 2016, “Pengkajian: Analisa Yuridis Terhadap Penetapan Tersangka Dalam Praperadilan”, (https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&id=4185 diakses pada 1 april 2021 pukul 08.47).

TUGAS ANALISIS BERITA PAJAK TERKINI

Pengenaan Pajak Pada Transaksi Cryptocurrency [Sumber Berita] Dilansir dari salah satu platform media berita, bahwasannya Dirjen Pajak Kemen...