PRANATA PRAPERADILAN DITINJAU DARI SUDUT
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI
[Sumber] : Pengaturan dan Praktek Praperadilan Tindak Pidana Pajak di Indonesia
Secara umum, pranata adalah
norma atau aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus yang berbentuk
tertulis dan tidak tertulis. Adapun sifat daripada pranata yakni mengikat dan relatif
lama serta memiliki ciri tersendiri yakni aturan main, tujuan, kelengkapan, symbol,
umur, dan nilai.[1]
Kemudian, mengenai pengertian praperadilan. Dalam KUHAP tidak dituliskan secara jelas mengenai
definisi praperadilan ini. Praperadilan merupakan bagian dari kewenangan
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam UU tentang: Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan; Ganti kerugian atau rehabilitasi bagi
seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan. Adapun Pasal yang berkaitan dengan praperadilan yakni Pasal 1 angka
10 jo. Pasal 77 KUHAP.
SUDUT
ONTOLOGI
Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat
sesuatu yang ada. Sehingga sesuatu yang ada tersebut dapat dipercaya oleh
masyarakat. Menurut Soetandyo Wigonosoebroto, aspek ontologis dalam hukum dapat
dibagi menjadi 5 bagian yakni:[2]
a. Asas-asas
kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal
b. Norma-norma
positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara
c. Putusan
hakim in concreto, yang tersistematisasi sebagai judge made law
d. Pola-pola
perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik.
e. Manifestasi makna-makna
simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi di antara mereka.
Dari hal tersebut di atas,
maka apabila dihubungkan dengan pranata praperadilan yang ditinjau dari sudut ontologi.
Maka, yang dibicarakan adalah mengenai ‘apa hakikat dari keberadaan pranata praperadilan?’.
Pada hakikatnya, keberadaan pranata praperadilan merupakan bentuk pengawasan
dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat
dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia.[3] Lebih lanjut, pranata praperadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 KUHAP haruslah dimaknai
sebagai pranata untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa
oleh Penyidik atau Penuntut Umum.
SUDUT
EPISTEMOLOGI
Epistemologi adalah ilmu
yang membahas tentang sesuatu yang ada di dalam suatu ilmu pengetahuan. Epistemologi
ini pada intinya membahas tentang ‘bagaimana’ kita mengetahui apa yang kita
ketahui, ‘bagaimana’ ilmu pengetahuan itu diperoleh, dan masih banyak yang
lainnya. Kemudian, apabila dihubungkan dengan praperadilan ditinjau dari sudut
epistemologi. Maka, yang dibicarakan dan perlu diketahui adalah mengenai ‘apa
yang melatarbelakangi adanya praperadilan?’ , kemudian ‘mengapa praperadilan
itu diadakan?’.
Praperadilan merupakan
tiruan dari Rechter Commisaris di Negeri Belanda. Lembaga Rechter Commisaris
(hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan), muncul sebagai wujud dari peran
serta keaktifan Hakim, yang di Eropa Tengah memberikan peranan ”Rechter Commisaris”,
yakni suatu posisi yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang
middelen), penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, pemeriksaan
surat-surat.[4]
Kemudian mengenai tujuan dari
dibentuknya praperadilan adalah sebagai kontrol atas jalannya hukum acara
pidana dalam rangka melidungi hak-hak tersangka (terdakwa). Adapun mengenai
tugasnya yakni bersifat terbatas sebagaimana yang telah diuraikan pada
permulaan di atas.
SUDUT
AKSIOLOGI
Aksiologi adalah ilmu yang
membahas tentang hakikat nilai yang ditinjau dari kefilsafatan. Inti dari
aksiologi ini adalah etika dan estetika. Bilamana dihubungkan dengan
praperadilan ditinjau dari sudut aksiologi. Maka, yang dibicarakan adalah mengenai ‘nilai apa
saja yang dapat diperoleh atau yang terkandung dalam praperadilan tersebut?’.
Adapun nilai yang terkandung diantaranya terdapat nilai agama. Yang mana dalam praperadilan ini selain dapat melindungi hak-hak asasi tersngka, juga dapat melindungi 5 pokok perkara dalam islam (maqasid syariah) yakni menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta dimana 5 pokok perkara dalam Islam tersebut yang paling utama untuk dijaga dan dilindungi disamping hak-hak asasi tersangka yang lainnya. Kemudian terdapat pula nilai keadilan. Dimana nilai ini didapat dari pertimbangan dan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap yang tentunya mengandung keadilan bagi seluruh pihak yang bersangkutan di dalamnya.
Baca juga
:
Praperadilan Pajak dalam Praktek
Sumber Hukum Praperadilan Perpajakan
Praperadilan Tindak Pidana Pajak Indonesia
[1] Maulana Adhi Nugraha, 2021, “Pranata”, (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pranata
diakses pada 30 Maret 2021 pukul 13.56).
[2] DR. Anang
Sophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn., 2018, PRAPERADILAN:
SARANA PERLINDUNGAN TERSANGKA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA, hlm.
127, (http://eprints.ulm.ac.id/6333/
diakses pada 30 Maret 2021 pukul 07.54).
[3] Mahkamah
Konstitusi RI, 2021, “MK: Penetapan Tersangka Masuk Lingkup Praperadilan”, (https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10796
diakses pada 1 April 2021 pukul 16.47).
[4] Kejaksaan RI, 2016, “Pengkajian: Analisa Yuridis
Terhadap Penetapan Tersangka Dalam Praperadilan”, (https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=35&id=4185
diakses pada 1 april 2021 pukul 08.47).